Masalah nomor satu kota Jakarta adalah kemacetan akut. Padahal, jika bisa dikurangi, produktivitas dan daya hidup kota ini akan meningkat. Untuk itu gagasan yang mungkin bisa di pakai guna mengurangi kemacetan nan parah tersebut;
1. Tinggal di dekat kantor
Hal fundamental dalam dalam bermukim di kota yang transportasi publiknya buruk adalah bermukim dengan tempat kerja dan sarana hiburan. IStilah kerennya, live, work & play. Misalnya, mereka yang tinggal di Kelapa Gading sebaiknya berkantor dan membelanjakan uang di area itu pula.
Seorang teman sudah melakukan hal tersebut. Ia tinggal di kawasan Taman Rasuna, berkerja di Jalan Rasuna Said, dan rekreasi di Mal Epicentrum atau Setiabudi One. Dengan konsep ini, biaya transportasi bulanan berkurang. Urban stress menyusut. Dan, beban lalu lintas wilayah tereduksi.
2. Lengkapi Infrastruktur
Saat ini rata-rata warga Jakarta menghabiskan sekitar 25% dari total penghasilan untuk biaya transportasi. Ini sangat tidak sehat. Pasalnya, kaum menengah ke bawah jadi lebih banyak menghabiskan penghasilannya di jalanan. Sebagai pembanding, masyarakat Cina hanya menghabiskan 7% penghasilannya untk transportasi. Sementara idealnya, menurut Bank Dunia, ada di angka 10%.
Terdapat banyak pilihan untuk memperkaya infrastruktur transportasi Jakarta. Sebut saja memanfaatkan jalur kereta api yang sudah ada untuk perjalanan jauh, membangun Mass Rapid Transit (MRT) untuk jarak menengah, dan menyempurnakan Bus Way atau monorail untuk jarak pendek. Sisanya adalah menyediakan taksi dan ojek yang nyaman. Dengan kondisi ideal ini, niscaya Jakarta bisa kembali sehat.
3. Kurangi Kepadatan Kota
Kepadatan Jakarta sudah di atas ambang batas. Untuk mengatasinya, solusi memindahkan pusat pemerintah Indonesia ke luar Jakarta seperti ke Kalimantan atau Sulawesi bisa jadi wacana yang menarik. Plihan lain adalah memindahkan universitas-universitas ke pinggiran Jakarta. Sudah terbukti, setiap hadirnya institusi pendidikan akan membawa kepadatan kendaraan yang luar biasa besar.
Hal yang sama juga wajib dilakukan terhadap Mal. Dengan melakukan moraturium izin Mal mungkin akan membantu mengurangi kepadatan keluar-masuk kendaraan yang biasanya berimbas ke sistem lalu lintas kota.
4. Tegakkan disiplin berkendaraan
Sudah menjadi rahasi umum bahwa salah satu biang kemacetan adalah ketidakdisiplinan pengguna kendaraan. Penempatan petugas lalu lintas untuk menegur ragam angkutan kota yang hobi ngetem atau berhenti illegal bisa dijadikan solusi. Hal yang sama juga diterapkan kepada pedagang kaki lima yang kerap berjualan seenaknya di jalanan.
Masalah parkir sembarangan pun mesti diatasi. Konsep memberikan hukuman berupa mengembok ban mobil atau motor bisa jadi solusi kecil namun berarti jika terjadi di area-area langganan macet. Pajak parkir bisa diterapkan untuk restoran atau bangunan yang parkirnya meluber dan membebani jalan kota.
Pengaturan jadwal masuk tol kota kendaraan berat seperti truk barang juga harus tegak diberlakukan. Truk besar dilarang beroperasi pada jam padat pagi hari dan jam padat sore hari. Hal ini pernah diberlakukan dan terbukti mampu meningkatkan kecepatan berkendara mobil-mobil yang melewati tol kota di jam-jam padat tadi.
5. Bersepedalah selagi bisa
Dalam skala lebih pendek, bisa diterapkan konsep bike-sharing atau penyewaan sepeda yang sudah marak di kota-kota besar dunia. Di Bandung, sejak Juni tahun lalu, konsep bike-sharing telah dimulai dan mendapat sambutan bagus dari masyarakat. Begitu pun dengan kota Jakarta.
Konsep bike to work yang sudah lama hadir di kota Jakarta juga perlu digalakkan dengan ragam aturan yang memudahkan. Sarana jalur sepeda di jalan-jalan utama, area parkir sepeda di pelataran gedung, atau konsep memberi diskon khusus dari Mal untuk mereka yang datang dengan sepeda, bisa menjadi cara unik untuk menngkatkan budaya bersepeda.
Lima hal tersebut sangat penting karena mau tak mau Jakarta adalah wajah Indonesia dan kerap dijadikan referensi oleh kota-kota lain yang lebih kecil. Jika Jakarta yang kompleks bisa menjadi lebih baik, itu akan membawa optimisme ke seluruh negeri. Toh, political will kuatlah yang akan menentukan masa depan Jakarta. Tanpa itu, semua gagasan ini hanya akan jadi imajinasi yang mubazir.
Penulis:
Ridwan Kamil
Arsitek Urban / Penggagas Gerakan Indonesia Berkebun
0 komentar:
Posting Komentar